Bandung - Sebuah unggahan sederhana di platform Instagram pada Kamis (4/12) telah memicu rangkaian peristiwa yang menunjukkan betapa powerful-nya suara generasi muda di era digital. Akun @pandawaragroup, milik kelompok aktivis lingkungan Pandawara Group asal Bandung, mengeluarkan gagasan yang terkesan utopis: mengajak seluruh rakyat Indonesia patungan atau berdonasi untuk membeli hutan-hutan yang terancam dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit atau lahan industri. "Lagi ngelamun, tiba-tiba aja kepikiran gimana kalo Masyarakat Indonesia Bersatu berdonasi beli hutan-hutan agar tidak dialihfungsikan," tulis mereka. Unggahan yang disertai tautan donasi di bio akun tersebut ternyata menyentuh simpul rasa keprihatinan yang sama di hati netizen.
Timing dari unggahan tersebut terbilang sangat tepat, dilontarkan tepat di tengah-tengah sorotan media nasional terhadap bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatra. Banyak analis dan masyarakat yang menghubungkan intensitas bencana tersebut dengan praktik deforestasi dan alih fungsi hutan yang masif. Kombinasi antara momentum bencana dan pesan konservasi yang lugas membuat konten Pandawara dengan cepat menyebar. Dalam hitungan jam, gagasan itu menjadi viral, mengumpulkan puluhan ribu like, komentar dukungan, dan ribuan reshare dari akun-akun publik lainnya.
Puncak viralitas terjadi ketika musisi populer Denny Caknan turut merespons. Melalui platform yang sama, Caknan menyatakan kesanggupannya untuk berkontribusi dalam gerakan patungan tersebut dengan jumlah yang fantastis: Rp1 miliar. Dukungan dari figur publik dengan jutaan pengikut ini seperti memberikan legitimasi dan daya dorong tambahan yang besar. Gerakan yang awalnya digagas oleh sekelompok aktivis muda di Bandung tiba-tiba meluas menjadi gerakan nasional yang melibatkan selebritas dan masyarakat luas. Ini menjadi contoh nyata bagaimana media sosial dapat memperpendek jarak antara gagasan akar rumput dengan perhatian publik massal.
Gelombang perhatian yang begitu besar tidak mungkin diabaikan oleh para pembuat kebijakan di ibu kota. Isu yang menjadi trending topic di ruang digital akhirnya menembus dinding-dinging gedung parlemen. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, memberikan tanggapan resmi terhadap usulan yang digulirkan Pandawara Group. Dalam wawancara pada Rabu (10/12), Alex menyampaikan apresiasi terhadap niat baik di balik gagasan tersebut, meski sekaligus mengingatkan batasan hukum mengenai kepemilikan hutan. Respons dari pejabat tinggi DPR ini menandakan bahwa gerakan online telah berhasil mencapai salah satu tujuannya: mengangkat isu ke tingkat diskusi politik formal.
Perjalanan gagasan dari feed Instagram ke ruang rapat Komisi IV DPR mencerminkan perubahan pola komunikasi politik dan aktivisme di Indonesia. Media sosial tidak lagi sekadar ruang untuk berbagi kehidupan pribadi, tetapi telah bertransformasi menjadi ruang publik (public sphere) baru dimana wacana-wacana penting dibentuk dan didorong. Kelompok seperti Pandawara memanfaatkan platform ini secara efektif untuk agenda setting, yaitu menempatkan isu pelestarian hutan sebagai prioritas yang harus dibahas. Kemampuan mereka "memaksa" parlemen untuk angkat bicara adalah bukti keberhasilan taktik komunikasi modern.
Namun, viralitas juga membawa tantangan tersendiri. Alex Indra Lukman dalam responsnya mengingatkan bahwa banyak ide yang hanya berhenti di tataran konsep. Tantangan bagi Pandawara dan para pendukungnya adalah bagaimana mentranslasikan momentum viral ini menjadi aksi yang berkelanjutan dan berdampak nyata di lapangan, mengingat mekanisme "membeli hutan" secara hukum tidak sederhana. Gerakan ini harus bergerak dari fase awareness (menyadarkan) ke fase action (bertindak) yang lebih terstruktur, mungkin dengan mengadvokasi skema konservasi tertentu atau mendorong program pemerintah yang sudah ada.
Di sisi lain, respons DPR yang mengapresiasi tetapi juga mengoreksi aspek legalitas menunjukkan bahwa ruang dialog antara negara dan masyarakat sipil tetap terbuka. Negara melalui perwakilannya mendengar suara publik, namun juga memberikan pandangan berdasarkan regulasi yang ada. Dinamika ini sebenarnya sehat bagi demokrasi. Harapannya, interaksi ini tidak berakhir setelah pemberitaan reda, tetapi berlanjut dalam bentuk diskusi yang lebih substantif untuk mencari solusi bersama atas masalah deforestasi.
Pada akhirnya, kisah viralnya gagasan Pandawara Group mengajarkan sebuah pelajaran penting. Di era keterhubungan seperti sekarang, setiap orang memiliki potensi untuk memulai perubahan. Sebuah unggahan yang tulus, disampaikan pada momen yang tepat, dan didukung oleh komunitas dapat menghasilkan gelombang yang mampu mengguncang gedung-gedung tinggi kekuasaan. Ini adalah modal sosial yang berharga untuk membangun Indonesia yang lebih hijau, asalkan energi tersebut dapat diarahkan dengan cerdas, inklusif, dan dalam koridor hukum yang membawa keadilan bagi semua pihak, termasuk hutan itu sendiri.