Indramayu, Jawa Barat - Kejadian banjir rob di Kecamatan Kandanghaur menjadi ujian bagi kapasitas penanggulangan darurat Pemerintah Kabupaten Indramayu. Respons yang ditunjukkan berupa paket tindakan terintegrasi: penyaluran bantuan pokok, pendirian dapur umum, dan asesmen lapangan yang berjalan hampir bersamaan. Pendekatan multi-aspek ini menunjukkan upaya untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan seketika, tetapi juga memetakan jalan menuju pemulihan jangka pendek.
Langkah pertama difokuskan pada distribusi bantuan yang dipusatkan di Kantor Kecamatan Kandanghaur pada Jumat, 5 Desember 2025. Pemusatan lokasi merupakan strategi logistik umum untuk memudahkan pengawasan dan memastikan transparansi. Namun, efektivitas sejatinya terletak pada kemampuan menjangkau kelompok yang tidak mampu mendatangi titik distribusi. Di sinilah peran monitoring ke desa-desa seperti Bulak dan Ilir menjadi krusial, untuk mengidentifikasi celah dan memastikan inklusivitas.
Secara paralel, pendirian dapur umum di Desa Eretan Kulon adalah intervensi cerdas yang menjawab kebutuhan paling mendasar: pangan. Dari perspektif kebijakan darurat, dapur umum berfungsi ganda: sebagai penyedia nutrisi dan sebagai titik kumpul yang memudahkan koordinasi bantuan serta pendataan warga. Menargetkan tiga desa terdampak utama, layanan ini menjadi bantalan sosial yang meredam potensi kerawanan pangan akut di level rumah tangga.
Yang patut dicermati adalah model kolaborasi yang diterapkan. Operasi ini melibatkan tidak hanya Dinas Sosial dan BPBD sebagai leading sector, tetapi juga menyertakan Penyuluh Sosial, Tagana, KSB, serta aparatur desa dan kecamatan. Struktur kolaborasi semacam ini memanfaatkan kekuatan masing-masing aktor: otoritas dan sumber daya pemerintah, kecepatan dan pengetahuan lokal relawan, serta legitimasi dan jaringan kepala desa. Sinergi ini berpotensi memperbesar cakupan dan ketepatan sasaran bantuan.
Keterlibatan Kampung Siaga Bencana (KSB) merupakan aset penting. KSB, sebagai struktur komunitas yang telah dilatih, seharusnya menjadi kekuatan pertama yang bergerak. Integrasi mereka dalam respon resmi pemerintah memperpendek waktu tunggu bantuan dan meningkatkan akurasi data kebutuhan di lapangan. Ini merupakan contoh nyata dari prinsip penanggulangan bencana berbasis masyarakat yang didukung oleh otoritas formal.
Langkah-langkah yang diambil masih berada dalam fase tanggap darurat. Keberhasilan sesungguhnya akan diukur dari transisi yang mulus menuju fase pemulihan dan rehabilitasi. Asesmen yang dilakukan di Desa Bulak dan Ilir harusnya menjadi dasar penyusunan rencana tindak lanjut, seperti perbaikan rumah rusak, pembersihan lingkungan, dan dukungan untuk memulai kembali mata pencaharian.
Respon Pemkab Indramayu ini memberikan pembelajaran berharga. Bencana skala lokal seperti banjir rob membutuhkan skema yang cepat, terkoordinasi, dan melibatkan masyarakat. Kesiapan lembaga seperti Tagana dan keberadaan KSB yang aktif menjadi faktor pengali efektivitas. Namun, tetap diperlukan evaluasi pasca-bencana untuk menilai sejauh mana seluruh populasi terdampak terjangkau dan apakah bantuan yang diberikan sudah memadai sesuai dengan tingkat kerusakan.
Pada akhirnya, ujian bagi suatu kebijakan tanggap darurat bukan hanya pada kecepatan respons, tetapi juga pada keberlanjutannya. Masyarakat Kandanghaur menantikan komitmen pendampingan yang dijanjikan, hingga kondisi mereka benar-benar pulih dan mampu berdiri mandiri menghadapi ancaman serupa di masa depan.