Satu-satunya Penerbangan Terjadwal Kualanamu-Rembele Hanya Susi Air Sekali Seminggu

Kamis, 11 Desember 2025

    Bagikan:
Penulis: Adam Naufal
Rute udara antara Bandara Kualanamu dan Bandara Rembele hanya memiliki satu layanan terjadwal, yaitu penerbangan perintis Susi Air yang beroperasi sekali seminggu setiap hari Kamis. Tidak ada layanan maskapai komersial berjadwal lainnya. (ATR)

Bener Meriah - Clarifikasi yang disampaikan Kementerian Perhubungan mengenai tarif penerbangan di Aceh turut mengungkap kondisi riil ketersediaan layanan udara di wilayah tersebut. Fakta yang terungkap adalah bahwa rute penghubung antara Bandara Internasional Kualanamu di Sumatera Utara dan Bandara Rembele di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, memiliki tingkat layanan yang sangat minimal. Kepala Otoritas Bandar Udara Wilayah II Medan, Asri Santosa, menyatakan dengan tegas bahwa “Rute tersebut tidak dilayani penerbangan komersial berjadwal.” Pernyataan ini membantah anggapan umum bahwa lonjakan tarif terjadi pada layanan maskapai reguler.

Satu-satunya layanan udara teratur yang tersedia untuk masyarakat adalah penerbangan perintis yang dioperasikan oleh maskapai Susi Air. Penerbangan ini berfungsi sebagai penyedia layanan dasar (basic service) untuk konektivitas udara ke daerah yang secara komersial kurang diminati maskapai besar. “Layanan pada rute Kualanamu–Rembele hanya berupa penerbangan perintis Susi Air satu kali per minggu setiap hari Kamis,” jelas Asri Santosa. Artinya, dalam satu minggu, hanya ada satu kesempatan bagi warga untuk menggunakan transportasi udara terjadwal antara dua bandara tersebut, itupun dengan kapasitas pesawat yang terbatas.

Keterbatasan kapasitas yang ekstrem ini menjadi akar masalah yang sebenarnya. Dalam kondisi normal, satu penerbangan per minggu mungkin sudah mencukupi kebutuhan mobilitas terbatas di daerah tersebut. Namun, situasi berubah drastis ketika bencana melanda Aceh. “Kondisi darurat bencana di Provinsi Aceh mendorong meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap layanan transportasi udara. Banyak warga dari daerah terdampak yang membutuhkan akses keluar menuju Bandara Kualanamu. Ini menyebabkan lonjakan signifikan jumlah masyarakat yang datang ke Bandara Rembele,” papar Asri. Bandara Kualanamu merupakan pintu gerbang utama yang terhubung dengan banyak kota di Indonesia dan dunia, sehingga menjadi tujuan evakuasi atau transit.

Dihadapkan pada ledakan permintaan yang tiba-tiba, sementara pasokan kursi terjadwal nyaris tidak ada (hanya sekali seminggu), masyarakat terjepit. Mereka yang membutuhkan transportasi segera tidak memiliki pilihan lain selain mencari alternatif di luar sistem reguler. Inilah yang memunculkan pasar gelap (shadow market) untuk transportasi udara, dalam bentuk penerbangan charter yang diorganisir secara mandiri oleh kelompok penumpang. Mekanisme inilah, bukan penjualan tiket maskapai reguler, yang menghasilkan tarif tinggi sebagaimana dikeluhkan.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Lukman F. Laisa, menegaskan kembali titik ini. “Tidak ada maskapai yang menjual tiket reguler pada rute tersebut di luar jadwal perintis,” ujarnya. Penegasan ini penting untuk memisahkan antara tanggung jawab maskapai berjadwal yang diatur tarifnya, dengan mekanisme charter yang merupakan kesepakatan privat. Dengan kata lain, tidak ada maskapai seperti Garuda, Lion Air, Citilink, atau lainnya yang menaikkan tarif tiket reguler mereka untuk rute ini, karena mereka bahkan tidak melayani rute tersebut secara reguler.

Fakta mengenai minimnya layanan ini menjadi landasan bagi langkah-langkah solutif Kemenhub ke depan. Menyadari bahwa satu penerbangan perintis per minggu sama sekali tidak memadai dalam situasi darurat, Ditjen Perhubungan Udara secara aktif mendorong maskapai-maskapai niaga berjadwal untuk masuk atau menambah frekuensi. Dorongan ini terutama untuk rute-rute yang menghubungkan Aceh dengan hub nasional seperti Jakarta (via Soekarno-Hatta) dan Medan (via Kualanamu). Penambahan kapasitas dari maskapai-maskapai besar ini diharapkan dapat mengisi void (kekosongan) layanan yang selama ini hanya mengandalkan penerbangan perintis.

Selain itu, fakta ini juga memberikan perspektif yang lebih adil dalam menilai peran pemerintah. Selama ini, bandara dan otoritas penerbangan seringkali dipersepsikan membiarkan tarif melambung. Padahal, dalam kasus rute Kualanamu-Rembele, otoritas bandara tidak memiliki kendali atas tarif charter karena itu adalah transaksi di luar sistem bandara. Namun, Kemenhub mengakui bahwa keterbatasan layanan dasar adalah masalah sistemik yang perlu diatasi, dan itulah yang sedang diupayakan melalui dorongan penambahan kapasitas.

Pengungkapan fakta tentang satu-satunya penerbangan terjadwal ini merupakan langkah transparansi yang penting. Masyarakat menjadi paham bahwa masalahnya bukan pada kenaikan tarif maskapai, tetapi pada ketiadaan pilihan maskapai itu sendiri. Pemahaman ini diharapkan dapat mengalihkan energi publik dari sekadar mengeluh tentang harga, menjadi mendukung upaya-upaya untuk mendatangkan lebih banyak maskapai dan penerbangan terjadwal ke wilayah Aceh, baik untuk kebutuhan darurat saat ini maupun untuk pembangunan konektivitas jangka panjang.

(Adam Naufal)

Baca Juga: Dedi Mulyadi: Investasi Rp13,5 T Dan MRO Pacu Optimisme Kertajati
Tag

    Bagikan:

Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.