Bogota - Seruan publik dari mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump agar wilayah udara Venezuela ditutup telah memantik reaksi diplomatik yang signifikan, dimulai dengan penolakan tegas dari Presiden Kolombia Gustavo Petro. Insiden ini mengungkap bagaimana retorika kampanye politik di AS dapat dengan cepat menciptakan gelombang ketidakstabilan dan memaksa sekutu-sekutu regional untuk mengambil sikap yang sulit. Bagi banyak pemimpin Amerika Latin, usulan Trump dianggap sebagai langkah yang tidak realistis dan berbahaya, yang mengancam akan memperuncing konflik daripada menyelesaikannya.
Kolombia, sebagai negara yang berbagi perbatasan terpanjang dengan Venezuela dan yang paling merasakan dampak krisis migran, memiliki kepentingan vital untuk menjaga stabilitas. Kebijakan ekstrem seperti penutupan total wilayah udara berisiko memutus jalur distribusi bantuan kemanusiaan penting yang masih masuk ke Venezuela melalui Kolombia dan negara lain, serta dapat memicu respons militer yang tidak terduga dari Caracas, sehingga mengancam keamanan seluruh kawasan.
Penolakan Petro juga menyoroti adanya kesenjangan yang semakin lebar antara narasi kebijakan yang populer dalam politik domestik AS dan kebutuhan serta realitas di lapangan yang dihadapi oleh negara-negara tetangga Venezuela. Sementara retorika "tindakan keras" mungkin mendapatkan dukungan dari sebagian pemilih AS, para pemimpin di Amerika Latin harus memikirkan konsekuensi praktisnya: gelombang pengungsi baru, gangguan perdagangan, dan eskalasi konflik bersenjata di perbatasan.
Reaksi Petro kemungkinan akan diikuti oleh negara-negara lain di kawasan yang juga lelah dengan pendekatan maksimalis terhadap Venezuela. Negara-negara seperti Brasil, Argentina, dan Chili, meskipun kritis terhadap rezim Maduro, umumnya lebih memilih solusi melalui negosiasi dan menolak intervensi militer atau blokade total. Trump, dengan usulannya, secara tidak sengaja dapat mempersatukan suara-suara moderat di kawasan menentang kebijakan AS.
Situasi ini menempatkan pemerintahan Biden dalam posisi yang canggung. Di satu sisi, mereka harus menjaga koherensi kebijakan luar negeri AS yang tetap menerapkan sanksi terhadap Venezuela. Di sisi lain, mereka perlu mengelola hubungan dengan sekutu regional seperti Kolombia yang kini dipimpin oleh figur yang jelas-jelas menolak eskalasi lebih lanjut. Diplomasi AS akan diuji untuk menjembatani kesenjangan ini dan mencegah keretakan aliansi strategis.
Bagi komunitas internasional yang lebih luas, episode ini berfungsi sebagai pengingat tentang bagaimana proses politik dalam negeri sebuah kekuatan besar dapat memiliki implikasi global yang langsung. Ketidakpastian mengenai arah kebijakan AS pasca-pemilihan November 2025 telah mulai mempengaruhi kalkulasi strategis di ibu kota negara-negara lain, mendorong mereka untuk mempersiapkan berbagai skenario dan mungkin mengurangi ketergantungan pada Washington.
Dalam konteks yang lebih luas, ketegangan ini juga berkaitan dengan persaingan pengaruh geopolitik di Amerika Latin. Penolakan Petro terhadap tekanan AS dapat dilihat sebagai peluang oleh aktor lain seperti China dan Rusia, yang telah meningkatkan keterlibatan ekonomi dan politik mereka di Venezuela, untuk memperdalam pengaruhnya dengan menawarkan model hubungan internasional yang tidak melibatkan tekanan atau syarat politik.
Akhirnya, insiden antara Trump dan Petro ini menunjukkan bahwa jalan menuju resolusi krisis Venezuela masih panjang dan berliku. Setiap usulan kebijakan radikal dari luar, alih-alih menyederhanakan masalah, justru menambah lapisan kompleksitas baru dan memaksa aktor-aktor kunci untuk mendefinisikan ulang posisi mereka, sebuah proses yang menentukan masa depan tidak hanya Venezuela, tetapi seluruh wilayah Amerika Latin.