Mengulik Dampak Doom Scrolling: Dari Stres Kronis Hingga Gangguan Tidur Yang Menggerogoti Kesehatan Mental

Selasa, 09 Desember 2025

    Bagikan:
Penulis: Alvin Pratama
Paparan berita negatif yang kompulsif dapat memicu respons stres kronis dalam tubuh, mengacaukan pola tidur, dan menjadi pemicu masalah kecemasan yang lebih serius. (Freepik)

Jakarta - Di balik layar ponsel yang seolah menyajikan jendela dunia, tersembunyi sebuah kebiasaan yang secara diam-diam menggerogoti fondasi kesehatan mental: doom scrolling. Kebiasaan terus-menerus menggulir berita buruk ini bukan hanya menyita waktu, tetapi memicu kaskade respons fisiologis dan psikologis yang merugikan. Tubuh dan pikiran yang terus-menerus berada dalam kondisi siaga terhadap ancaman yang dibaca akhirnya mengalami kelelahan yang mendalam.

Saat terpapar aliran informasi negatif, tubuh dapat bereaksi seolah-olah menghadapi ancaman nyata. Kondisi ini memicu peningkatan kadar hormon stres seperti kortisol, yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan hyperarousal—keadaan di mana tubuh tetap siaga dan waspada berlebihan meski tidak ada bahaya langsung di sekitar. Psikolog klinis Dra. Tika Bisono menjelaskan, reaksi terhadap konten negatif ini mirip dengan stres kronis karena otak memproses setiap informasi seolah sebuah ancaman nyata.

Dampak paling merusak sering terjadi pada malam hari. Banyak orang melakukan doom scrolling sebagai ritual sebelum tidur dengan niat melepas penat, namun justru terjerumus ke dalam lingkaran kecemasan yang membuat pikiran sulit tenang. Paparan cahaya biru dari gawai menekan produksi hormon melatonin yang mengatur siklus tidur, sementara konten negatif membuat sistem saraf tetap terjaga. Kombinasi ini berujung pada tidur larut, kualitas tidur yang buruk, dan siklus ketidakstabilan yang memperparah stres keesokan harinya.

Gangguan tidur yang berulang ini bukanlah akhir masalah, melainkan titik awal bagi komplikasi kesehatan mental yang lebih serius. Tidur yang tidak berkualitas secara konsisten menurunkan ketahanan emosional seseorang, membuatnya lebih rentan terhadap tekanan dan kecemasan di siang hari. Dalam jangka panjang, pola ini dapat berkontribusi pada perkembangan atau memburuknya kondisi seperti kecemasan kronis dan gejala depresi ringan.

Kebiasaan ini juga menguras energi emosional dengan cara yang sering tidak disadari. Seseorang bisa merasa lelah, sedih, atau marah setelah sesi doom scrolling, seakan energi positifnya tersedot oleh konten-konten yang dikonsumsi. Kelelahan emosional ini kemudian mengurangi kapasitas individu untuk menikmati hal-hal positif, berkonsentrasi pada pekerjaan, atau terhubung secara bermakna dengan orang lain.

Mengatasi dampak ini memerlukan kesadaran dan intervensi yang disengaja. Langkah pertama adalah belajar mengenali sinyal tubuh dan pikiran saat mulai terjebak, seperti perasaan sesak, gelisah, atau dorongan kompulsif untuk terus menggulir. Menetapkan batasan fisik, seperti tidak membawa ponsel ke kamar tidur atau mengaktifkan mode grayscale untuk mengurangi daya tarik visual layar, dapat menjadi pembatas yang efektif.

Membangun ritual tidur yang sehat tanpa gawai adalah kunci pemulihan. Mengganti kebiasaan menggulir layar dengan aktivitas yang menenangkan seperti membaca buku fisik, mendengarkan musik, atau melakukan peregangan ringan memberi sinyal yang jelas pada tubuh bahwa waktu telah tiba untuk beristirahat. Jika kesulitan mengatasi kebiasaan atau dampaknya sendiri, mencari bantuan profesional seperti psikolog atau konselor adalah langkah bijak dan proaktif.

Dengan memahami mekanisme di balik dampak doom scrolling, individu dapat mengambil kembali kendali atas konsumsi informasi dan melindungi ruang mental yang diperlukan untuk ketenangan dan pemulihan. Kesehatan mental yang terjaga adalah fondasi untuk menghadapi kompleksitas dunia, baik yang nyata maupun yang terpapar di layar.

(Alvin Pratama)

Baca Juga: Inovasi Dan Apresiasi Warna REN BPOM 2025: Dari Panduan Lab Hingga Penghargaan WBK
Tag

    Bagikan:

Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.