Jakarta - Dalam paparan detailnya mengenai krisis iklim dan anak, UNICEF menyoroti dua ancaman lingkungan yang paling kasat mata dan berdampak langsung: polusi udara yang menghantui perkotaan dan kawasan industri, serta banjir yang melanda berbagai wilayah secara berulang. Kedua fenomena ini bukan lagi sekadar gangguan, melainkan telah menjadi krisis kesehatan publik yang akut bagi populasi anak, dengan konsekuensi yang dapat terbawa hingga mereka dewasa.
Polusi udara, terutama partikel halus PM2.5, adalah ancaman diam-diam yang meracuni jutaan anak Indonesia setiap hari. Organ pernapasan dan otak anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan sangat rentan terhadap racun ini. Paparan jangka panjang dikaitkan dengan peningkatan insiden asma, bronkitis, dan infeksi saluran pernapasan bawah yang dapat berakibat fatal. Lebih mengkhawatirkan lagi, studi menunjukkan bahwa polutan dapat melintasi sawar darah-otak, berpotensi menghambat perkembangan kognitif, menurunkan skor tes kecerdasan, dan memengaruhi konsentrasi belajar anak.
Di sisi lain, banjir yang semakin sering dan parah akibat curah hujan ekstrem menimbulkan serangkaian ancaman kesehatan yang berbeda namun sama bahayanya. Saat banjir melanda, sumber air bersih terkontaminasi oleh limbah dan kotoran, memicu wabah penyakit diare, kolera, dan leptospirosis. Genangan air juga menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk, meningkatkan risiko penyakit seperti demam berdarah dan malaria. Anak-anak, dengan sistem imun yang masih berkembang, adalah korban utama dari wabah-wawabah pasca-banjir ini.
Yang memperparah situasi adalah ketika kedua ancaman ini berinteraksi. Sebuah keluarga yang tinggal di daerah rawan banjir dengan kualitas udara buruk akan menghadapi beban ganda. Anak dalam keluarga tersebut mungkin sudah menderita ISPA kronis karena polusi. Ketika banjir datang dan memaksa mereka mengungsi ke tempat yang padat dengan sanitasi buruk, risiko anak tersebut terkena pneumonia atau penyakit pencernaan akan melonjak drastis, dan akses ke fasilitas kesehatan mungkin terhambat.
Ancaman ini juga tidak berdiri sendiri dari aspek sosial. Anak-anak dari keluarga miskin sering kali tinggal di kawasan yang paling tercemar, seperti dekat jalan raya utama atau kawasan industri, sekaligus di wilayah permukiman liar di bantaran sungai yang rawan banjir. Dengan demikian, krisis iklim melalui polusi dan banjir semakin memperdalam ketidakadilan kesehatan yang sudah ada, menghukum mereka yang paling tidak bersalah dan paling tidak berdaya.
Menghadapi kenyataan ini, pendekatan kesehatan masyarakat perlu diubah. Upaya promotif dan preventif harus diperkuat dengan memasukkan faktor risiko iklim. Kampanye kesehatan perlu mengedukasi masyarakat tentang bahaya polusi dalam ruangan dan luar ruangan, serta langkah pencegahan penyakit pasca-banjir. Sistem surveilans penyakit juga harus mampu mendeteksi wabah yang dipicu faktor iklim dengan lebih cepat.
Pada akhirnya, melindungi anak-anak dari polusi udara dan banjir berarti melindungi fondasi kesehatan bangsa untuk puluhan tahun ke depan. Membangun kota dengan udara bersih dan tata kelola air yang baik bukan lagi sekadar agenda pembangunan, melainkan sebuah keharusan moral dan investasi mendesak untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia dapat menghirup udara segar dan tumbuh di lingkungan yang aman dari bencana.